Oleh : Sri Suprapti
Ungkapan crah agawe bubrah (berselisih membuat rusak) tidak dapat disangkal. Perselisihan pasti menimbulkan keretakan hubungan atau mengganggu persatuan, baik dalam lingkup RT, RW, kampung, desa, ataupun negara. Oleh sebab itu semua orang perlu menyadari bahwa perbedaan memang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan bersama. Akan tetapi yang terpenting adalah mengelola perbedaan itu agar tidak menimbulkan keretakan dan mengganggu kerukunan
Ungkapan rukun agawe santosa dan crah agawe bubrah merupakan pusat dari salah satu sikap hidup Jawa sehingga orang yang tidak mengindahkan nilai-nilai kerukunan disebut wong nyeleneh atau orang aneh dan biasanya akan disisihkan atau “dikucilkan” dari kehidupan bersama dalam masyarakat.
Masyarakat Jawa memiliki prinsip hidup menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang bersifat universal. Nilai-nilai lestari yang berkembang secara dinamis dan diadaptasi hingga kini. Diantara falsafah luhur yang lestari dipegang hingga kini adalah kata-kata bijak Pepatah Jawa atau Paribasan Jawa. Pepatah Jawa kuno banyak dicari karena berisi petuah-petuah hidup, nasehat untuk menjalani kehidupan agar lebih baik.
Ajaran yang kaya akan nilai-nilai moral dan kebijaksanaan. Bermanifestasi dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku luhur yang berasal dari filosofi terdalam para leluhur. Sebagai orang Jawa asli dan pensiunan Guru Bahasa Jawa ingin rasanya menyajikan kata-kata bijak pepatah Jawa /nasehat Jawa yang penuh inspirasi.
Ungkapan peribahasa Rukun Agawe Santosa sering digabungkan dengan ungkapan Crah Agawe Bubrah sehingga menjadi Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah. Arti dari ungkapan tersebut adalah “Rukun membuat kuat sentosa, bertengkar membuat rusak.
Penulis memilih judul ungkapan peribahasa Jawa karena merasa prihatin dengan kondisi saat ini. Jujur, ungkapan itu merupakan pengingat terhadap potret kondisi sosial saat ini yaitu rukun agawe santosa, crah agawe bubrah yang bersinonim dengan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Menurut pandangan Penulis, masyarakat saat ini sulit untuk rukun dan mudah sekali untuk kisruh. Gampang emosi/marah yang berakibat berantem bahkan dalam hal-hal yang hanya masalah sepele. Ujung pangkalnya hanyalah egois, kepentingan diri. Fitnah dan kebencian-kebencian banyak berhamburan di masyarakat.
Egois, fitnah, dan kebencian ini semuanya merupakan bibit perpecahan sehingga jika hal ini dilakukan hingga berlarut-larut, maka akan berakibat terjadinya disintegrasi. Oleh karena itu, setiap orang mesti ingat bahwa rukun itu amatlah penting. Orang yang tidak bisa rukun dengan yang lain tidak akan menjadi orang yang kuat, maju, adil, dan makmur.
Karena energinya hanya akan dihabiskan untuk saling mencerca dan memusuhi saja. Orang tidak sadar bahwa dengan bersatunya dan berpacu mengejar kerukunan, akan muncul hidup menjadi tenang, aman, dan nyaman.
Penulis merasakan ada sebagian orang yang diunggul-unggulkan karena dinilai memiliki kelebihan dalam “jabatannya”, namun kerap mengumbar fitnah yang merongrong kerukunan. Semoga orang seperti ini segera siuman, mengerti dan ingat dengan pepatah Jawa “crah agawe bubrah”. Sekaligus tidak melanjutkan dengan kalimat yang ngalor ngidul (kemana-mana), ngoceh semau-maunya sendiri tanpa menyadari siapakah dirinya.
Selain menunggul-unggulkan dirinya, seseorang yang mempunyai “jabatan” yang dengan sengaja atau tidak disaat-saat tertentu misalnya rapat/diskusi, langsung menyalahkan seseorang yang belum tentu terbukti salah. Kalau orang yang disalahkan itu tidak bisa meredam emosi maka akan terjadi pertengkaran, namun apabila orang yang sabar maka akan diam.
Diam dalam arti, tidak akan langsung menjawab tuduhan yang ditujukan kepadanya. Dia akan mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan prinsipnya. Dan tidak akan menyampaikan di depan forum, untuk menjaga “nama baiknya”. Orang sabar akan mencari waktu dan tempat untuk berbicara, itulah yang dinamakan kerja professional.
Jadi, ayo kita semua rukun. Bila rukun, kita sentosa dan sebaliknya, bila kita terus bertikai, akan membuat bubrah, hancur, Perlu diketahui bahwa makna bubrah berasal dari Bahasa Jawa yang artinya berusaha agar hubungan tetap harmonis. Rukun agawe santosa artinya rukun membuat sentosa atau kokoh, crah agawe bubrah artinya bertengar membuat rusak atau menimbulkan kehancuran.
“Rukun agawe sentosa, Crah agawe bubrah”, merupakan pepatah yang memiliki arti bahwa jika kita hidup dalam kebersamaan yang harmonis dan damai, maka kita akan mencapai ketenangan dan kebahagiaam. Namun sebaliknya, jika dalam hidup kita selalu dalam perpusuhan dan perselisiham, maka itu akan mengarah pada kehancuran.
Pepatah yang sederhana itu menyampaikan pesan yang kuat kepada hidup kita, betapa pentingnya dan berharganya kerja sama dan persatuan dalam mencapai masyarakat yang damai dan sejahtera lahir batin. Dan perlu diingat bahwa konsep rukun atau bersatu merupakan nilai yang sangat dihargai dalam budaya Jawa dan dianggap sebagai kunci utama untuk mencapai kebahagiaan.
Rukun agawe santosa, dalam budaya Jawa konsep rukun sering dikaitkan dengan praktik gotong royong yang merupakan bentuk tradisional kerja sama dimana anggota bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama. Sedangkan untuk crah agawe bubrah memperingatkan akan bahayanya perpecahan dan konflik. Dalam budaya Jawa, konflik dan perselisihan dianggap sebagai sumber masalah sosial dan ekonomi yang besar, oleh karena itu crah harus dihindari dengan segala cara.
Konflik dan perpecahan yang tampaknya semakin meningkat ini, kebijaksanaan dari pepatah Jawa ini akan lebih penting dari sebelumnya. Kita harus mengerti bahwa kekuatan terletak pada kemampuan untuk bekerja sama dengan mengesampingkan perbedaan dan fokus dengan tujuan bersama. Marilah kita semua berusaha hidup dengan prinsip rukun agawe sentosa crah agawe bubrah, merangkul kerukunan, persatuan dan kerja sama untuk bekerja sama menuju masa depan yang lebih cerah dan harmonis khususnya bagi diri pribadi dan orang lain di sekitar kita.
Wa’tasimu bi hablillahi jami’aw wa la tafarraqu “Dan berpegangteguhlan pada tali (agama) Allah, serta jangan kita berpecah belah (Surat Ali Imran Ayat 103). Ayo rukun… rukun… rukun, ndhuk le ( ayo rukun, anak perempuan, anak laki-laki). (*)