JATENGONLINE, SUKOHARJO – Fenomena post truth yang semakin marak di era digital menjadi perhatian serius berbagai kalangan. Untuk mengupas tuntas tantangan ini, Lembaga Kajian Lintas Kultural (LKLK) menyelenggarakan Dialog Publik dan Temu Tokoh bertajuk “Menanggulangi dan Mencegah Post Truth: Sebuah Transformasi Paradigma Baru Dalam Bersosialisasi”. Acara ini berlangsung di Hotel Tosan Solo Baru, Kabupaten Sukoharjo, pada Jumat, 14 Februari 2025, dari pukul 13.00 hingga 17.00 WIB.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, jurnalis, aktivis sosial, serta organisasi kepemudaan dan keagamaan. Acara diawali dengan registrasi ulang peserta yang dilakukan oleh Safina Maulany Sifyan, dilanjutkan dengan pembukaan oleh Master of Ceremony, Syukur Candra Setiawan. Suasana semakin khidmat saat seluruh peserta bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dipimpin oleh dirigen Syarifah Wardah Al Aydrus.
Dalam sambutannya, Ketua Panitia, Fadhel Moubharok IF, menyampaikan laporan jumlah peserta serta memperkenalkan narasumber yang hadir dalam diskusi ini. Ia juga menjelaskan susunan acara sebagai rangkaian kegiatan yang telah disusun secara sistematis.
Moderator acara, Tri Rohmadi, yang juga merupakan pendiri Marhenesa Law Office, memberikan pengantar mengenai bahaya media sosial dan maraknya hoaks di masyarakat. Ia menegaskan bahwa para narasumber akan memberikan wawasan serta solusi konkret agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam fenomena post truth.
Sebagai pembicara utama, Sofwan Faizal Sifyan, Direktur LKLK, menyoroti perlunya sikap kritis dalam menerima informasi, terutama yang berkaitan dengan isu agama dan sosial. Ia menekankan pentingnya tabayun serta disiplin dalam menyaring berita sebelum disebarluaskan.
Diskusi semakin menarik dengan paparan dari empat narasumber utama. Ian Prasetyo, seorang jurnalis dan pegiat media sosial, mengungkap bagaimana hoaks sering kali sengaja diproduksi untuk kepentingan politik dan sosial. Ahmad Bintang Irianto, Kepala Detasemen Khusus 99 Satkornas Banser, menyoroti bahwa post truth kerap digunakan dalam perang informasi oleh kelompok-kelompok tertentu, terutama menjelang Pemilu 2024.
Sementara itu, Mohd Adhe Bhakti, Direktur Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, menjelaskan bagaimana disinformasi dan misinformasi berperan dalam membentuk opini publik yang menyesatkan. Ahmad Hafidh, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sukoharjo, menegaskan bahwa era post truth adalah fenomena global yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi, teknologi, dan sosial.
Sesi tanya jawab menjadi momen interaktif yang menggugah antusiasme peserta. Pertanyaan pertama diajukan oleh Achmad Bachrudin dari GP Ansor Sukoharjo, yang menanyakan bagaimana cara membangun ketahanan masyarakat terhadap hoaks yang menyebar cepat di media sosial. Menanggapi hal ini, Ian Prasetyo menjelaskan bahwa literasi digital harus terus ditingkatkan melalui pendidikan formal dan non-formal. “Kita perlu mengajarkan keterampilan fact-checking sejak dini agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang menyesatkan,” tegasnya.
Pertanyaan kedua dari Faiz Aryanto, seorang aktivis pelajar NU Solo, yang menyoroti peran pemerintah dalam menangkal hoaks, terutama menjelang tahun politik. Ahmad Bintang Irianto menanggapi bahwa pemerintah telah memiliki berbagai regulasi terkait, namun implementasi di lapangan masih memerlukan dukungan masyarakat. “Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Peran kita sebagai warga negara adalah turut serta melaporkan hoaks dan tidak ikut menyebarluaskannya,” ujarnya.
Selanjutnya, Ita Fardiyati, seorang penulis dan peneliti, bertanya mengenai cara membangun narasi kebenaran yang lebih menarik dibandingkan hoaks yang sering kali lebih sensasional. Menanggapi hal ini, Mohd Adhe Bhakti menekankan pentingnya strategi komunikasi yang kreatif.
“Narasi kebenaran harus dikemas dengan cara yang menarik dan mudah dipahami, misalnya melalui konten audiovisual yang disajikan secara singkat namun kuat secara pesan,” jelasnya.
Terakhir, pertanyaan diajukan oleh Wardah dari Fatayat NU, yang bertanya mengenai bagaimana peran tokoh agama dalam menangkal disinformasi yang sering kali berbalut sentimen keagamaan. Ahmad Hafidh dari MUI Sukoharjo menegaskan bahwa tokoh agama memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan edukasi kepada jamaahnya.
“Sebagai pemuka agama, kita harus aktif menyampaikan pesan kebenaran dan mengajak masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang belum tentu benar,” pungkasnya.
Acara ditutup dengan sesi foto bersama dan pengumuman peserta yang lolos dalam Workshop Literasi Digital LKLK yang akan dilaksanakan pada 15-16 Februari 2025 di Hotel Sarila, Surakarta. Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya menyaring informasi secara kritis dan bijak dalam bermedia sosial demi menciptakan ekosistem digital yang sehat dan beretika.(*/ian)