JATENGONLINE, SOLO – Gagasan dan ide yang dijalankan sebagai awal menuju aglomerasi Solo Raya yakni penyelenggaraan even SoloRaya Great Sale pada Juli 2025 mendatang.
Namun tidak kalah pentingnya mengetahui secara konkrit seberapa besar antara konsep karesidenan dan aglomerasi itu sendiri.
Sebagaimana disampaikan inisiator aglomerasi Solo Raya, yang juga ketua Kadin Solo Ferry Septia Indrianto (FSI), bahwa konsep Karesidenan dan Aglomerasi memiliki perbedaan mendasar, baik dari segi cakupan, tujuan, maupun dampaknya terhadap suatu wilayah.
Untuk memahami lebih jauh, dijelaskan FSI, tentang perbedaannya, jika Aspek Karesidenan yakni Sistem pembagian wilayah administratif pada masa kolonial Belanda yang bertujuan untuk pengelolaan pemerintahan.
Karesidenan mengatur dan mengelola wilayah berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan kolonial.
Sementara Aspek Aglomerasi merupakan konsep dalam ekonomi dan tata ruang yang menggambarkan konsentrasi aktivitas manusia atau ekonomi di suatu wilayah tertentu.
Bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan menciptakan pertumbuhan kawasan melalui integrasi wilayah dan efisiensi ekonomi.
Adapun inisiasi aglomerasi Solo Raya berfungsi untuk tetap menjaga keberlanjutan Surakarta.
Pembubaran Karesidenan Soloraya, lanjut FSI, membawa dampak besar bagi Kota Solo dengan menciptakan ketidakpastian yang luar biasa. Tak hanya soal keterbatasan ruang pembangunan akibat lahan yang dimiliki, tetapi juga hilangnya peran dan fungsi awal yang dulu menjadi dasar pembentukan Karesidenan Surakarta.
Lebih dari sekadar perubahan administratif, bubarnya Karesidenan juga menandai berakhirnya konsep awal yang menetapkan Solo sebagai pusat perkotaan seluas 44 km², didukung oleh enam kabupaten dengan total wilayah 5.600 km². Secara proporsi, luas Solo tak lebih dari 1% dari keseluruhan Karesidenan, yang seharusnya tetap berfungsi sebagai episentrum pembangunan kawasan.
“Otonomi daerah yang sering disalahartikan justru memperkuat ego sektoral di wilayah sekitar.” tegas FSI.
Alih-alih membangun sinergi, katanya, kebijakan yang terfragmentasi semakin memperparah dampak bagi Kota Kecil Surakarta, yang kini harus berjuang sendiri tanpa dukungan regional yang seharusnya menopangnya.
“Maka jika ini semua tidak segera sungguh-sungguh kita sikapi, bukan hanya perkiraan tetapi ini sudah didepan mata, bahwa Kota Surakarta akan menjadi salah satu Kota yang Gagal,” paparnya.
Sebagaimana dalam buku yang seringkali Bapak Presiden Prabowo dengungkan “why nations is failed” – kenapa bangsa-bangsa gagal.
Mulai dari Negara, Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah tidak mampu mengatasi ketidakpastian warga, tidak mampu membiayai operasional kepemerintahannya.
“Disinilah esensinya Aglomerasi Soloraya kami dengungkan dimana-dimana, dan kemungkinan satu-satunya solusi untuk mengatasi dan mengentaskan keberlanjutan kota Surakarta yang kita cintai bersama ini,” pungkas FSI penuh semangat.
Karena menurutnya, Solo Masa Lalu adalah Solo Masa Depan! Semoga (*/ian)