BISNIS EKONOMIKRONIKANASIONALSOSOK

Equity Investment Risk dan Rate of Return Risk, Aturan Baru Dalam Perbankan Syariah


  JO,  Semarang – Perbankan syariah sesungguhnya membawa amanat yang sangat berat dalam industri perbankan di     Indonesia. Dengan mengusung nama syariah yang juga berarti ajaran Islam yang terkait amal manusia, seharusnya Bank  Syariah bisa memberi bukti bahwa mereka lebih unggul dalam praktik perbankan yang bersih.

Akan tetapi amanat sedikit terganggu setelah muncul kasus kecurangan yang menimpa Unit Syariah Bank Pembangunan  Daerah (BPD) Jawa Tengah. Kecurangan itu mencuat ketika beberapa bulan lalu, diketahui ada surat perintah kerja (SPK)  fiktif dari berbagai proyek Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang dilakukan pegawai Unit Syariah Bank Jateng.

Meski hingga sekarang kasus itu sedang diproses, namun sejak kasus terungkap, Bank Jateng terus melakukan  pembersihan internal dengan melaporkan pegawai yang terlibat kepada Aparat Penegak Hukum. Diharapkan pengungkapan kasus itu bisa memulihkan nama baik dan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Bank Jateng.

“ Kami ingin orang-orang yang tak bertanggung jawab atas terjadinya dugaan penerimaan kredit, baik di internal bank maupun  rekanan yang terlibat atas SPK fiktif, ditindak sesuai hukum yang berlaku,” ujar Kuasa Hukum Bank Jateng, Boyamin Saiman.

Akibat kredit macet tersebut kerugian ditaksir mencapai Rp24 miliar. Menurur Direktur Utama Bank Jateng Hariyono, jumlahnya masih logis dan belum mengganggu kinerja, dimana rasio kredit macet bank tersebut masih terjaga di level 1,13  persen.

Namun demikian yang dikhawatirkan Hariyono adalah, turunnya kepercayaan terhadap Bank Jateng setelah terungkapnya  kasus SPK fiktif tersebut. Bank Jateng Unit Syariah akan mendapat penilaian sebagai bank yang tidak mampu menjalankan nilai dasar syariah. Meski demikian Hariyono tetap optimis, bahwa Unit Usaha Syariah Bank Jateng harus tetap  dipertahankan, sebagaimana yang dimiliki oleh bank konvensional lainnya.

“Kami memang sempat mencemaskan adanya penurunan kepercayaan publik, karena itu kami bekerja keras untuk mengembalikan kepercayaan yang ada dengan cara melakukan pembersihan internal, serta terus mengejar pengembalian dana yang dipinjam”, ujarnya.

Meski demikian, kasus SPK fiktif tidak hanya menjadi tamparan keras bagi Bank Jateng, namun juga menjadisetitik nila bagi perbankan syariah. Bagaimana tidak, industri yang menggunakan skema bagi hasil dan bagi risiko ini, dan selalu menjalankan prinsip syariah ini justru tertimpa kasus penipuan oleh pegawai bank sendiri. Tak pelak reputasi perbankan syariah secara keseluruhan dipertaruhkan

Dalam jangka pendek, risiko reputasi memang tidak menimbulkan dampak langsung secara finansial. Akan tetapi dalam jangka  panjang akan sangat terasa karena akan berdampak pada risiko likuiditas akibat berkurangnya nasabah yang ingin menyimpan dana di bank syariah. Derajat yang sangat dihindari adalah ketika risiko reputasi mengikis tingkat kepercayaan nasabah. Karena    pada umumnya, bank termasuk industri yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap kepercayaan publik atau masyarakat umum.

Maka dari itu pengelolaan risiko reputasi penting untuk diperhatikan kalangan perbankan. Menurut Pemerhati Perbankan Syariah, Tony Hidayat, pengelolaan risiko reputasi dalam bank syariah bisa dilakukan dengan tiga hal. Pertama, mengoptimalkan  unit pengaduan nasabah.

Setiap pengaduan nasabah harus segera ditindaklanjuti. Jangan sampai bank syariah cuek, yang  pada akhirnya nasabah mengadu ke pihak lain bahkan hingga ke media massa.

Kedua, mengoptimalkan peran Public Relation (PR). Peran PR adalah untuk merancang dan mengorganisir strategi komunikasi yang berisi pesan-pesan yang tepat untuk audience untuk menjaga reputasi dan meminimalisir risiko reputasi. Ketiga,  menjunjung tinggi kaidah syariah. Penerapan kaidah syariah tidak hanya pada produk dan layanan. Tetapi juga pada perilak (attitude) SDM bank syariah.

Selain itu, ada cara lain yang dianggap lebih jitu dalam menangkal terjadinya pembobolan bank oleh pegawainya sendiri.  Caranya adalah dengan mengoptimalkan peran Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bisa menjadi pengawas internal bank  terkait penerapan prinsip syariah di perbankan syariah.

Menurut Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Agustianto, tugas utama  DPS adalah mengawasi kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prisnip syariah yang telah difatwakan oleh DSN.

Fungsi dan peran DPS di bank syariah, memiliki hubungan yang kuat dengan manajemen risiko perbankan syariah, yakni risiko reputasi. Pelanggaran kepatuhan di bank syariah syariah yang dibiarkan atau luput dari pengawasan DPS, akan merusak citra dan kredibilitas bank itu di mata masyarakat. Alhasil jika kondisi itu terjadi akan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah.

Managemen Risiko Syariah, Namun di atas semua itu, para pemegang kepentingan di industri perbankan syariah seharusnya menyadari betul pentingnya penerapan manajemen risiko di perbankan syariah. Bank Indonesia sendiri sebagai otoritas perbankan syariah berencana mengeluarkan aturan manajemen risiko yang dikhusukan bagi bank syariah.

Selama ini manajemen risiko bank syariah masih mengikuti aturan perbankan konvensional. Dengan adanya aturan baru yang     ketentuannya berbentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) akan ada 10 aturan tentang manajemen risiko yang harus dikelola bank syariah. Delapan diantaranya adalah risiko yang sudah dikenal sebelumnya dalam manajemen risiko perbankan konvensional yaitu kredit, likuditas, pasar, operasional,reputasi, kepatuhan, hukum, dan strategis.

“Selain itu bertambah dua yaitu equity investment risk dan rate of return risk. Keputusan ini sesuai standar yang dikeluarkan oleh Islamic Financial Services Board (IFSB),” ujar Direktur Perbankan Syariah BI Mulya E Siregar. Mulya tidak berani memastikan kapan aturan tersebut akan terbit meski memberikan ancer-ancer hingga akhir tahun ini.

Menurut dia, pada tahap awal dua risiko tersebut belum akan diimplementasikan secara ketat. Bank syariah baru diminta untuk  menghitung besarnya dua risiko itu di internal masing-masing dan belum diwajibkan untuk mencadangkan modal bila risiko tersebut muncul.

Ini dilakukan agar bank syariah menyadari bahwa ada risiko yang harus dihitung,” ujarnya.

Sementara itu menurut Bambang Kiswono, Ketua Tim Pengaturan Perbankan Syariah BI, equity investment riskmerupakan  pengelolaan risiko bagi pembiayaan dengan sistem bagi hasil (profit and loss sharing), yang umumnya digunakan pada  akad mudharabah dan musyarakah.

Dalam pembiayaan tersebut ada potensi dana bank akan hilang apabila debitur mengalami kerugian dalam usaha, sehingga     yang terjadi bukan bagi hasil, namun bagi kerugian. Sementara itu rate of return riskmerupakan potensi risiko larinya dana pihak     ketiga ke bank konvensional karena suku bunga yang ada di pasar melebihi imbal hasil yang diberikan bank syariah.

Hal Itu dapat terjadi karena imbal hasil untuk simpanan pada bank syariah, fluktuatif, mengikuti kinerja dari pembiayaan, berbeda  dengan bank konvensional yang telah mematok bunga tetap untuk dana pihak ketiga.-hk55