“Men-(desa)-kan” Jawa Tengah
JO – Judul tulisan di atas bukan dimaksudkan untuk mengajak atau membawa Jawa Tengah (Jateng) yang sudah maju dan berhasil di berbagai bidang pembangunan kembali pada keadaan desa yang barangkali identik dengan kekurangberuntungan dalam berebut nasib. Tidak juga diorientasikan pada ikhtiar penggelontoran beragam bantuan ke desa-desa semata, namun lebih pada upaya kearah memberikan perhatian, dedikasi dan fasilitasi kepada desa berikut masyarakatnya.
Semua berasal dari bawah, sejak perencanaan hingga pemeliharaan dan pengembangan serta pengawasan program dilakukan oleh desa. Mana-mana yang kurang, pemerintah berkewajiban mengisi kekurangan tersebut. Pada fase ini bukan berarti menafikan pembangunan masyarakat kelurahan atau perkotaan. Di sinilah terjadi apa yang disebut desa partisipatif dan desa membangun.
Dan, jika tidak ada aral melintang 215 hari ke depan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng akan menyelenggarakan pemilihan gubernur (pilgub). Beberapa nama calon gubernur dan calon wakil gubernur mulai beredar dan menghiasi pemberitaan di media massa nasional dan lokal. Calon-calon tersebut berasal dari partai politik (parpol) pengusung maupun dari calon perseorangan (independent)dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Bicara pilgub mengingatkan kita pada 8.577 desa/Kelurahan dengan segenap plus minusnya, tapi semua itu bukan berarti menyiutkan tekad kita semua untuk menggerakkan desa untuk membangun. Hal ini menjadi semakin menarik bagi para calon yang berkompetisi tatkala menjelang even pilgub digelar. Mengapa berbasis desa? Bentuk perhatian lebih kepada desa, diantaranya :pertama, sebagian besar masyarakat tinggal di desa dengan kondisi dan taraf hidup yang rendah.
Kedua, adanya paritas sosial dan ekonomi antara desa dan kota dan Ketiga, secara obyektif masyarakat pedesaan tidak segera mampu menunjukkan prakarsa sendiri yang berarti membangun dirinya sendiri. Di sini perlu intervensi pihak lain (pemerintah, fasilitator, pendamping lain). Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya kultur dan struktur masyarakat pedesaan itu sendiri yangperlu dioptimalkan.
Desa dengan ragamnya diyakini mampu mendongkrak perolehan suara, dan ketika memasuki rentang itu, desa memasuki masa-masa rawan yang membahagiakan. Rawan karena sangat memungkinkan praktek menghalalkan segala cara demi pemenangan masing-masing calon dan mereka bahagia sebab masyarakat desa memandang dengan hadirnya pemimpin baru berarti fajar baru segera terbit bagi kesejahteraan masyarakat akar rumput.
Kurun tersebut, barangkali desa mengalami delusion of grandeur atau khayalan kemegahan yang telah menjauhkannya dari upaya menyelesaikan kemiskinan secara kongkret. Yaitu, mengabaikan sistem pembangunan yang dekat dengan manusia, kehidupan dan kenyataan. (Gumilar R. Sumantri, 2007). Padahal kita tahu prosentase kemiskinan di Jateng (pedesaan) lebih tinggi ketimbang di perkotaan, yang agregasinya selalu mempengaruhi kualitas dan program pembangunan. – humas