Islam “yes” – Partai Islam “no”

JO, Solo – Lembaga Kajian & Pendampingan Sosial Kholif@h menyelenggarakan Seminar Nasional yang diikuti segenap elemen masyarakat di wilayah kota Solo, mulai dari akademisi, kalangan pimpinan ormas Islam, pimpinan partai se Surakarta, perwakilan Pimpinan Organisasi Kepemudaan dan perwakilan Calon Anggota Legislatif. Di Ruang Sidang DPRD Kota Surakarta Jl. Adi Sucipto Surakarta. Minggu (2/2/2014)
Islam dan demokrasi di Indonesia, yang disampaikan oleh Drs. H. Abdullah Faishol M. Hum, nara sumber dari IAIN Surakarta. Menanggapi Demokrasi islam di Indonesia dimasa sekarang berjalan pasang surut, dan tidak bisa lepas dai pergerakan-pergerakan yang ada di Indonesia.
Menurutnya, sejarah tersebut meninggalkan sistim yang ada dari jaman ke jamanya , seperti salah satunya Serikat Islam (SI) dengan sistim rekruitmenya. Walaupun, hingga sekarang sistim tersebut belum dapat memenuhi dan mensejahterakan rakyat.
“Lalu bila sistim demokrasi dikaitkan dengan Islam, apakah masih sejalan ? Apakah islam di Indonesia masih punya masa depan, saya akan mengkontekskan Islam dan legimitasi kekuasaan, karena pada zaman Soekarno dan Soeharto Islam di jadikan sebagai alat kekuasaan, dengan bukti terbentuknya nasakom,” papar Ustadz Ihsan.
Pada zaman orde baru Islam selalu dikaitkan dengan sistim demokrasi yang penuh dengan nafsu kekuasaan untuk kepentinganya. Pengalaman pahit terhadap dua dekade tersebut, menjadikan Islam sebagai legitimit saja, kemudian lahirlah pemikiran terhadap sekuler.
“Nilai Islam dalam sistim demokrasi adalah Islam “yes” Partai Islam “no” tetapi tujuan Islam untuk mensukseskan demokrasi melalui pemilihan pemimpin demi Negara. Prinsip ajaran Islam dalam demokrasi Indonesia adalah musyawarah,” terangnya.
Menelaah sistim demokrasi kita harus membawa pluralisme. Walaupun demokrasi baru muncul akhir-akhir ini. Namun nabi, khulafaur rosyidin telah mempraktekan terlebih dahulu. Pada zaman Abu Bakar mendirikan Baitul mal, dan hasil dari itu tidak hanya diberikan kepada orang yang beragama Islam saja.
“Pada masa Umar bin Khatab juga dapat dijadikan pelajaran pada masa sekarang ini, beliau memberikan kepada kaum yang tidak mampu ( setiap hutang yang ditnggung oleh kaumnya di bebaskan oleh Negara/dibiayai oleh Negara),” tambah Ustadz Ihsan.
Sedangkan dimasa Usman dengan kekayaan yang dimilikinya, beliau menolong masyarakatnya dengan membeli air yang telah di swastanisasi oleh pihak tertentu dan untuk masyarakat umum. Berbeda dengan sekarang, ketika kita ngomong globalisasi, itu akan di perjual belikan kepada kelompok-kelompok dan dikomersialkan, sehingga semua menjadi mahal dan menguntungkan pihak tertentu, pungkasnya. – ian