PERNIKWARTA JATENG

Komunisme dan Harga Diri Manusia

LKLK9cJO, Wonogiri – Di dalam isme-isme materialistik harga diri manusia muncul sebagai persoalan yang serius. Harga diri manusia memiliki dua sisi, yaitu harkat dan martabat. Harkat berasal dari kata Bahasa Arab harakah yang berarti gerak organ tubuh atau denyut nadi manusia.

Dalam perkembangannya, kata harkat menunjuk pada harga diri manusia yang terberikan selama denyut nadinya masih bekerja sehingga masih hidup sebagai manusia. Harkat manusia adalah sama untuk semua manusia selama masih hidup.

Sementara martabat berasal dari kata Bahasa Arab rutbah yang dalam Bahasa Jawa berarti trap-trapan atau undhak-undhakan, dalam Bahasa Indonesia adalah jenjang.

“Selanjutnya kata martabat memuat makna sebagai harga diri manusia yang terkait dengan ikhtiar atau peran efektif manusia. Demikianlah, martabat rakyat jelata penganggur yang tidak terdidik berbeda dari martabat seorang tenaga kerja terdidik yang semula belajar tekun dan bekerja keras sehingga dapat mencapai taraf kesejahteraan yang lebih baik, meskipun mereka memiliki harkat yang sama sebagai makhluk Tuhan,” terang M. Dian Nafi, Pengasuh Ponpes Al Muayyad Windan Kartasura Sukoharjo pada Seminar tentang Gerakan Kiri Baru dan Fenomena Komunisme Gaya Baru, diselenggarakan oleh Lembaga Bela Hamukti Palapa di Wonogiri.  Kamis (27/2/2014)

Menurut Dian Nafi’, komunisme menitikberatkan pada harkat manusia. Jargonnya yang terkenal adalah “sama rata sama rasa”. Sementara kapitalisme mengutamakan pada martabat manusia. Jargonnya yang terkenal adalah “survival of the fittest” atau “yang bertahan hidup adalah yang terkuat.”

Yang terlewatkan oleh komunisme dan kapitalisme adalah dua sisi harga diri manusia itu sesungguhnya tidak dapat dipisahkan, meskipun dapat dibedakan. Titik utama penyebabnya adalah materialisme, karena kedua ideologi ini  ̶komunisme dan kapitalisme   ̶ lahir di dalam filsafat yang lebih besar, yaitu materialisme.

Materialisme dan semua turunan filsafatnya memang tidak utuh memandang manusia. Jangankan tentang manusia, tentang nilai kerja pun ideologi-ideologi itu tidak utuh memandangnya. Misalnya adalah perihal industri.  Jika ditelisik dari sejarah dan akar katanya, maka di dalam industri terdapat gejala dan makna “bekerja berlebihan”. Mengapa begitu? Karena mengejar tingkat keuntungan. Untuk apakah keuntungan itu? Untuk meningkatkan kepuasan material dalam hidup.

Sementara, bekerja merupakan aktualisasi dari fitrah manusia, bukan karena mengejar keuntungan material semata. Fitrah manusia adalah hamba dan khalifah Tuhan. Sebagai hamba sepatutnya rendah hati. Dan sebagai khalifah, manusia bertugas memakmurkan kehidupan di bumi-Nya. Dalam dua peran itu manusia wajib bersyukur, yaitu mendayagunakan semua anugerah, termasuk harkat dan martabatnya sebagai manusia, di dalam jalan yang direstui-Nya. – ian

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *