Artha Dharma dan Misi Ketut Rajin Lestarikan Budaya Tenun Kain Khas Bali

Artha Dharma dan Misi Ketut Rajin Lestarikan Budaya Tenun Kain Khas Bali

Artha Dharma, salah satu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) binaan PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna) melalui Sampoerna Entrepreneurship Training Center (SETC) di bawah Payung Program Keberlanjutan “Sampoerna Untuk Indonesia”, kerap memamerkan berbagai produknya dalam gelaran pameran nasional maupun internasional.

Image

Perjalanan merintis
usaha pertenunan Artha Dharma dimulai pada 2002, dirintis oleh Ketut Rajin (57)
dan istrinya, Made Endang Erawati. Lebih dari 20 tahun berjalan, Artha Dharma
masih eksis. Namun, Ketut kini mengelolanya tanpa sang istri yang telah
berpulang setahun lalu.

Artha
Dharma, salah satu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) binaan PT HM
Sampoerna Tbk. (Sampoerna) melalui Sampoerna Entrepreneurship Training Center
(SETC) di bawah Payung Program Keberlanjutan “Sampoerna Untuk Indonesia”, kerap
memamerkan berbagai produknya dalam gelaran pameran nasional maupun
internasional.

Ketut
menyebut, Artha Dharma merupakan upayanya meneruskan warisan leluhur, berupa
budaya menenun yang sudah berlangsung turun-temurun. Tak ingin budaya menenun
punah, inilah alasan Ketut merintis pusat pelatihan dan pengembangan tenun
“Artha Dharma” di Desa Sinabun, Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali.

“Saat itu,
melihat kondisinya, pertenunan di sini sudah mau punah. Jadi, saya berpikir
bagaimana melestarikan budaya menenun supaya tidak punah,” kata Ketut.

Ia pun mulai
membangun pusat pelatihan dan pengembangan tenun dengan memberikan pelatihan
menenun kepada penduduk di Desa Sinabun. Mereka di antaranya terdiri dari para
ibu rumah tangga dan anak muda putus sekolah yang belum memiliki pekerjaan.
Ratusan orang telah dibekali keterampilan menenun di Artha Dharma. 

Artha Dharma
tak hanya memberikan pelatihan terkait menenun, tetapi juga memproduksi
berbagai produk tenun. Pertenunan Artha Dharma memproduksi kain tradisional
Bali berupa kain endek dan kain songket dengan alat tenun konvensional.
Tujuannya untuk melestarikan budaya agar langgeng.

Menurut
Ketut, usahanya ini melibatkan para penenun yang tersebar di sekitar lokasi workshop. Sementara, yang terpusat dan
terlibat dalam produksi Artha Dharma dari hulu ke hilir ada sekitar 30 orang.

Proses
produksi di Artha Dharma berlangsung dari pengolahan bahan mentah hingga
berwujud produk jadi. Ketut menjelaskan, ulat sutera yang menjadi sumber utama
kain tenun dibudidaya secara mandiri.

“Mulai dari
budidaya ulat sutera, penetasan telur, kami rawat, kasih makan, kurang lebih
selama 28 hari untuk dapat cocoon. Cocoon ini kemudian dipintal jadi benang
untuk diolah menjadi tenun maupun songket dari sutera alam,” papar Ketut.

Pewarnaan
yang digunakan pun beragam. Namun, mayoritas produk tenun Artha Dharma
menggunakan pewarna alam dari aneka tumbuhan.  

Turun-temurun

Ketut mengungkapkan,
sejak kecil ia terbiasa melihat orangtua, keluarga, dan orang-orang di
sekitarnya menenun. Bahkan, orang dulu, kata Ketut, harus bisa menenun jika
ingin memiliki dan memakai kain tenun.

“Dulu, zaman
ibu saya, dipaksa menanam tanaman kapas. Mereka harus bisa menenun. Ibu saya,
kalau tidak bisa menenun, tidak boleh pakai kain. Karena sering melihat itu,
saya jadi terbiasa, dan belajar soal tenun,” kata Ketut. 

Dari sinilah
asal muasal kecintaan Ketut terhadap tenun dan menjadi alasan Ketut mendirikan
pusat pelatihan dan pengembangan tenun Artha Dharma. Ia menjelaskan, misi
pertamanya adalah melestarikan budaya menenun sebagai budaya Bali.

“Menenun
jadi budaya di Bali karena ada kaitannya dengan upacara adar. Kain yang
dihasilkan banyak untuk upacara adat, misalnya Ngaben, atau upacara lainnya
yang banyak memakai tenun Bali,” ujar Ketut.

Misi kedua,
meningkatkan perekonomian warga melalui tenun. Ia menyebutkan, dengan
lestarinya pertenunan, banyak orang yang mendapatkan kesempatan menjadi
penenun, dan berdaya secara ekonomi.

Mempertahankan pembuatan tenun dengan cara
tradisional

Songket dan
tenun yang dihasilkan Artha Dharma masih menggunakan alat pembuatan tenun
konvensional dan mengandalkan karya dari tangan para penenun. Proses ini pula
yang membuat songket dan tenun memiliki nilai tinggi. Ketut mengungkapkan,
pembuatan selembar kain songket bisa memakan waktu sampai tiga bulan, mulai
dari proses penenunan, desain motif, hingga menjadi produk siap pakai.

“Ada tenun
songket yang dibikin pakai alat tradisional cagcag yang diakui UNESCO. Cuma ada
beberapa di dunia, salah satunya di Bali,” kata Ketut.

Sementara,
untuk motif kain tenun dan songket, selain mempertahankan motif warisan
leluhur, Ketut juga mendesain motif sendiri, salah satunya Kembang Pucuk. Ia
mengungkapkan, motif Kembang Pucuk memiliki makna filosofis.

“Motif pucuk
ini simbolisasi dari sebuah bunga yang melambangkan suatu keberanian. Pucuk itu
sering dipakai dalam upacara di Bali yang mempunyai filosofi keberanian,
ditambah dengan warnanya yang sangat bagus dan melambangkan kebijaksanaan,”
jelas Ketut. 

Konsep dan
idealisme yang dibangun Ketut melalui Artha Dharma membuat usahanya ini
memiliki kekhasan tersendiri. Menurut Ketut, hal ini pula yang membawanya bisa
bergabung dengan SETC selama 5 tahun terakhir.

“Saya sering
diajak ikut event, bahkan
internasional seperti G20 dan berbagai event
lain di Bali. Jadi manfaat yang saya rasakan banyak sekali setelah bergabung
dengan SETC. Kami dibantu menyosialisasikan produk kami sehingga jadi lebih
dikenal,” kata Ketut.

 “Dengan ikut pameran, baik event lokal, kabupaten, provinsi,
nasional, dan internasional, kami lebih dikenal lagi. Jadi bisa naik kelas,”
lanjut dia.

Melalui
berbagai pameran yang difasilitasi SETC, Ketut memperkenalkan proses produksi
songket dan tenun. Dengan bangga, ia juga memperlihatkan bahwa kain tenun karya
Artha Dharma berupa endek dan songket diproduksi melalui tangan-tangan terampil
para penenun di desanya.

Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *